PDM Kota Blitar - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Blitar
.: Home > Artikel

Homepage

MUHAMMADIYAH KINI DAN AKAN DATANG

.: Home > Artikel > PDM
19 April 2012 16:57 WIB
Dibaca: 2260
Penulis : Drs. H. Zen Amiruddin MSi

MUHAMMADIYAH KINI DAN AKAN DATANG

 

Lahirnya organisasi persyarikatan Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dengan situasi kemunduran Islam pada waktu itu yang lebih dikenal dengan adagium Al Islam mahjubun bil muslimiin (Islam tertutup oleh perilaku ummat Islam). Pada waktu itu muncul tokoh-tokoh reformis antara lain Syah Waliallah (1703-1762) di India, Muhammad Abdul Wahab (1739-1897) di Saudi Arabia, Jalaluddin Al Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridla (1865-1935) di Mesir, kemudian di Indonesia terkenal tokoh-tokoh antara lain Syaikh Ahmad Surkaty mendirikan Al Irsyad, H. Zamzam mendirikan Persis, dan K.H. Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah.

Para reformis tersebut mengemukakan bahwa kemunduran ummat Islam lebih disebabkan oleh meninggalkannya ajaran Islam yang murni berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau terjadi kesenjangan antara Qur’an-Sunnah dengan perubahan sosial yang ada, maka perlu dibuka kembali semangat ijtihad, sehingga taklid (mengikuti tanpa dasar/dalil yang kuat) baik kepada ulama’ mazhab, maupun ulama’ yang dipandang sebagai guru suci, atau guru yang serba mumpuni, harus ditinggalkan. Para reformis Muhammadiyah berusaha agar ummat Islam mengamalkan ajaran Islam betul-betul berdasarkan literatur yang jelas, bukan berdasarkan Qiila Wa Qiila “ katanya orang yang berkata “. Kalaupun ada qoul-nya (nash, dasarnya) seseorang cendikiawan atau  ulama maka harus di cek sumber pendapatnya itu, apakah pendapatnya rasional/masuk akal dan atau telah berdasarkan riwayat Al Qur’an dan As Sunnah. Jika pendapat mendasarkan riwayat hadist, maka harus di cek pula apakah riwayat rujukannya itu shohih, dloif atau maudlu’.

Aktifitas persyarikatan Muhammadiyah sering melakukan kritik, baik ke luar maupun ke dalam. Otokritik keagamaan dilakukan melalui Majelis Tarjih, yakni aktifitas meninjau amalan keagamaan  kaum muslimin apakah berdasarkan ajaran Qur’an-Sunnah, atau bukan. Dengan keputusan majelis itu bagi kalanagn Muhammadiyah dapat menyeragamkan langkah ibadah kaummnya sehingga nampak bisa berbaris, tidak nampak terjadi perbedaan yang mencolok, keseragaman tersebut semata-mata karena keputusannya didasarkan Qur’an-Sunnah Shohihah.

Muhammadiyah berpendirian untuk memahami ajaran Islam harus melalui ijtihad bagi yang mampu, ijtihad yang dilakukan dengan sistim jama’i bukan fardy, bukan hanya secara eksklusif oleh ulama’ Muammadiyah, tetapi sering dengan mengundang pula ulama luar Muhammadiyah. Muhamadiyah tidak menolak pendapat ulama’ lain, khususnya para ulama yang telah diberi status sebagai ulama madzhab mujtahidiin, namun pandangan mereka akan tetap dikaji kembali melalui metode tarjih, apakah sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah.

Muhammadiyah tidak berpandangan bahwa pemahaman ijtihady merupakan kebenaran mutlak, oleh kerena itu tetap membuka diri menerima koreksi atas keputusannya. Seandainya memang dasarnya tidak shohih maka akan segera ditinjau kembali. Jika perbedaannya disebabkan karena methode ijtihadiyah-nya maka ditumbuhkan rasa sikap “setuju dalam ketidak setujuan”  artinya tidak menyatakan salah kepada mereka yang berbeda.

Menurut Muhammadiyah pintu ijtihad tidaklah boleh ditutup, maka bagi yang tidak mampu berijtihad diharuskan untuk ber-ittiba’, yakni  mengikuti sesuatu pendapat dengan mengetahui dasar-dasarnya, dalil-dalilnya berupa Qur’an-Sunnah Shohihah. Sedangkan taqlid hanya  boleh bagi anak-anak yang belum dewasa atau bagi mereka yang kecerdasannya minim sekali.

Di samping garapan ibadah murni, Muhammadiyah juga berusaha menggarap urusan pemberdayaan umat, baik sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan masyarakat dan lain sebagainya Sekolahan mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi tumbuh dimana-mana, koperasi syari’ah, rumah sakit Muhammadiyah juga berdiri diberbagai daerah. Semula Muhammadiyah ditentang karena membangunkan sistem pendidikan klasikal, yang berkurikulum, yang nampak ke-Barat-baratan, karena ummat saat itu sedang semangat membentengi diri untuk tidak tasabbuh (meniru-niru) pada kaum penjajah antara lain mereka menghamkan dasi, celana, methode mengajar yang kurikuler dan lain sebagainya. Saat ini Muhammadiyah juga masih menghadapi tantangan, juga dari mereka yang semangat anti tasabbuh itu, karena peradaban Barat sedang gencar menyeruak ke dalam jantung wilayah Islam, maka hal-hal yang berbau Barat harus juga diharamkan dalam segala seginya, baik budaya maupun hasil budayanya.

Ke depan Muhammdiyah harus tetap rajin menata diri, jangan sampai karena “intervensi”, amal usaha Muhammadiyah dibawa lari oleh orang lain, Muhammadiyah harus tetap semangat menata managementnya, jangan sampai amal usahanya dibawa lari pihak lain atau dikuasi seseorang seakan milik pribadinya, Muhammadiyah juga harus tetap memananaj ajaran agamanya jangan sampai kerasukan unsur-unsur yang merobah khithoh Muhammadiyah sebagai umatan wasathon, ummat yang moderat. yang lemah lembut. Perlu senaniasa memperhatikan pesan Ali R.A. “Al Haqqu bilaa nidhom yaghlibuhu al bathil bi nidhom “ (Sesuatu yang benar tetapi tidak terorganisir akan dikalahkan oleh yang bathil tetapi terorganir).

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website